ANTARA ILMU DAN IBADAH
MESJID
Tidak terbantahkan lagi, mesjid merupakan sarana dan basis kekuatan
umat Islam. Selama umat Islam menjadikan mesjid sebagai pusat harakah
Islamiyyah, selama itu pula eksistensi kekuatannya akan berimbas terhadap
seluruh aspek kehidupan. Ini dapat dilihat bagaimana orang yang hidupnya
mengikatkan diri dengan aktifitas mesjid dibanding dengan orang yang kurang
mengenal mesjid. Sebab bagaimanapun mesjid akan memberi nuansa dan lingkungan
yang sarat dengan kesejukan dan kejernihan jiwa.
Selama ini fungsi dan peran mesjid
sepertinya dibatasi oleh aktifitas ritual semata. Padahal jika kita telusuri
peran Rasulullah Saw dan para sahabatnya dalam memfungsikan mesjid, ternyata
masih jauh dengan realita sekarang ini. Pada masa itu masjid dijadikan sebagai
pusat harakah—pusat pengakajian ilmiah—dan pusat kepentingan-kepentingan
umat Islam lainnya.
Disamping itu, dewasa ini kurangnya
perhatian generasi umat Islam akan keberadaan mesjid merupakan fenomena yang
tidak boleh dibenarkan. Bagaimana pun generasi—khususnya kaum remaja—adalah
mata rantai yang akan mengisi perjalanan kehidupan ini. Jika kaum generasinya
rusak, dapat dipastikan bagaimana gambaran ke depannya.
Karenanya, para generasi hendaknya
mendapat perhatian serius dan berbagai kalangan kaum muslimin, terutama peran
ulama dan orang tua mereka agar memiliki lingkungan pendidikan Islam, dan
mesjid adalah salah satu lingkungan yang paling efektif untuk itu.
EFEKTIFTAS MESJID BAGI REMAJA
Sebagai satu-satunya tempat ibadah
yang disyariatkan, mesjid memiliki beberapa fungsi dan hikmah bagi para remaja
yang berkompeten dan berdedikasi terhadap Islam disamping tempat ruku’ dan
sujud, mesjid dapat pula dimanfaatkan sebagai sarana yang paling efektif guna
mengembangkan akhlak dan wacana ke-Islaman para remaja, yaitu memfungsikan
mesjid seluas-luasnya sepanjang dalam garis yang dibenarkan.
1.
Sarana Menimba Ilmu
Menuntut ilmu adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Betapa pun tingkat kecerdasan seseorang, ia tetap wajib menuntut ilmu
(demikianlah ajaran Islam). Menuntut ilmu tidak mengenal waktu dan usia, kapan
dan dimana pun ia berada, menuntut ilmu tetap harus diupayakan.
Nabi Saw bersabda:
لِبَابٌ مِنَ اْلعِلْمِ يَتَعَلَّمُهُ الرَّجُلُ
اَحَبُّ اِلَي مِنْ اَلْفِ رَكْعَةٍ تَطَوُّعًا وَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اِذَا جَاءَ اْلمَوْتَ لِطَالِبِ اْلعِلْمِ وَ هُوَ عَلَى
هَذِهِ اْلحَالَةِ مَاتَ وَ هُوَ شَهِيْدٌ
“Sungguh satu bab (ilmu) yang dipelajari
oleh seseorang itu lebih baik aku cintai daripada menjalankan shalat sunnat
seribu rakaat, apabila kematian datang kepada penuntut ilmu sementara ia dalam
keadaan menuntut ilmu maka ia mati syahid.” (HR. Ath-Thabrani)
Sebuah riwayat menjelaskan, Nabi Saw bersabda:
اِذَا اَتَى عَلَي يَوْمٍ لَا ازْدَادُ فِيْهِ
عِلْمًا فَلَا بُوْرِكَ فِي طُلُوْعِ شَمْسٍ ذَلِكَ اْليَوْمِ
“Apabila
aku didatangi oleh suatu hari dan aku tidak bertambah ilmuku pada hari itu yang
dapat mendekatkan diriku kepada Allah Azza wa Jalla, maka tidak ada keberkahan
untukku terbitnya matahari pada hari itu.” (HR.
Ath-Thabrani, Abu Nu’aim dan Ibn ‘Abdi Barr)
Ada sebuah
kisah yang cukup menarik betapa istimewanya ilmu dibanding dengan harta
kekayaan.
Ada sepuluh
orang mengajukan kepada Ali bin Abi Thalib tentang satu masalah secara
bergiliran. Andaikan dia bisa menjawab satu pertanyaan dengan jawaban yang
berbeda-beda berarti dia benar-benar orang yang pandai, sebagaimana yang
disabdakan Nabi Saw. Demikian kata mereka.
Syahdan, secara bergiliran sepuluh orang tersebut
datang kepada Ali untuk bertanya. Orang pertama bertanya, “Hai Ali, mana
yang lebih utama, ilmu atau harta?”, Ali menjawab, “Ilmu lebih utama
daripada harta”. Tanya lagi, “Apa dasarnya?”. Jawab Ali, “Sebab
ilmu itu adalah pusaka para nabi, sedangkan harta adalah pusaka Qarun, Saddad,
Fir’aun dan lain-lain”.
Orang kedua
bertanya, “Hai Ali, mana yang lebih utama, ilmu atau harta?” Ali
menjawab, “Ilmu lebih berharga daripada harta”. “Apa dasarnya?”
tanyanya lagi. “Sebab ilmu itu menjagamu, tapi kalau harta malah engkau yang
menjaganya”, jawab Ali.
Orang ketiga
bertanya, “Hai Ali, ilmu itu lebih berharga daripada harta atau sebaliknya?”
Ali menjawab, “Ilmu lebih berharga daripada harta”. “Atas dasar apa?”
tanyanya lagi. “Sebab pemilik harta musuhnya banyak, sedangkan pemilik ilmu
temannya banyak”, jawab Ali.
Orang keempat
bertanya, “Hai Ali, ilmu itu lebih utama daripada harta atau sebaliknya?”
Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta”. “Atas dasar apa?”
tanyanya lagi. “Sebab ,harta kalau dibelanjakan akan berkurang, tapi kalau
ilmu jika kau ajarkan malah bertambah”, jawab Ali.
Orang kelima
bertanya, “Hai Ali, ilmu itu lebih berharga daripada harta atau sebaliknya?”
Ali menjawab, “Ilmu lebih berharga daripada harta”. “Atas dasar apa?”
tanyanya lagi. “Sebab pemilik harta dipanggil dengan sifat bakhil dan
cercaan, sedangkan pemilik ilmu dipanggil dengan nama keagungan dan kemuliaan”,
jawab Ali.
Orang keenam
bertanya, “Hai Ali, ilmu itu lebih utama daripada harta atau sebaliknya?”
Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta”. “Atas dasar apa?”
tanyanya lagi. “Sebab harta itu perlu dijaga dari pencuri sedangkan ilmu
tidak perlu dijaga”, jawab Ali.
Orang ketujuh
bertanya, “Hai Ali, ilmu itu lebih utama daripada harta atau sebaliknya?”
Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta”. “Atas dasar apa?”
tanyanya lagi. “Sebab pemilik harta kelak di hari akhirat akan dihisab,
sedangkan pemilik ilmu kelak akan diberi syafaat”, jawab Ali.
Orang
kedelapan bertanya, “Hai Ali, ilmu itu lebih utama daripada harta atau
sebaliknya?” Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta”. “Atas
dasar apa?” tanyanya lagi. “Sebab harta menjadi berkarat karena lam
disimpan, sedangkan ilmu tidak berkarat dan tidak rusak”, jawab Ali.
Orang
kesembilan bertanya, “Hai Ali, ilmu itu lebih utama daripada harta atau
sebaliknya?” Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta”. “Atas
dasar apa?” tanyanya lagi. “Sebab harta bisa mengeraskan hati, tapi
kalau ilmu dapat menerangi hati”, jawab Ali.
Orang
kesepuluh bertanya, “Hai Ali, ilmu itu lebih utama daripada harta atau
sebaliknya?” Ali menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta”. “Atas
dasar apa?” tanyanya lagi. “Sebab pemilik harta bisa mengaku sebagai
Tuhan lantaran hartanya, sedangkan pemilik ilmu mengaku sebagai hamba”,
jawab Ali. Kemudian ia menambahkan, “Jika mereka berbondong-bondong dan
bertanya kepadaku tentang masalah ini, niscaya akan kujawab dengan jawaban yang
lain lagi”.
Korelasi
:
Dari dulu
hingga kini, baik di perkotaan maupun di pedesaan mesjid masih digunakan
sebagai sarana belajar dan mengajar. Kondisi ini tidak berubah walaupun
bermunculan sarana-sarana lain untuk fungsi yang sama ini sebagai indikasi,
bahwa mesjid memang ideal untuk pengembangan keilmuan khususnya ilmu agama.
Bagi
para remaja yang ingin menimba ilmu agama sangatlah tepat bila mereka mau
menyisihkan waktunya untuk belajar atau mendengarkan fatwa dan ceramah-ceramah
di mesjid, terutama mesjid-mesjid besar. Banyak sudah mesjid-mesjid yang
menggelar berbagai acara keilmuan dari mulai pengajian mingguan, bulanan hingga
diskusi-diskusi. Jadi momentum ini sangat disayangkan bila disia-siakan.
As-Sayyid
bin Abd.Maqshud bin Abdurrahman dalam bukunya “Merajut Hati”, mengungkapkan
bahwa fatwa ceramah atau pengajian adalah ibarat cemeti yang dapat mencambuk
hati yang lalai, dan bisa menggerakannya ke alam baqa. Apalagi disaat
mengikuti ceramah atau pengajian dan fatwa itu, hati benar-benar dalam keadaan
lapang dan terlepas dari bayang-bayang inklinasi duniawi.
Sesungguhnya
pengaruh dari pengajian atau ceramah tidaklah sama antara hati yang satu dengan
hati (orang) yang lain. Pada diri orang yang mempunyai tingkat kesadaran
tinggi, ceramah dan pengajian lebih efektif dan lebih meresap ketimbang melalui
media dan sarana lainnya. Mereka akan melakukan aktifitas amal shaleh dengan
sungguh-sungguh dan penuh semangat. Dan berusaha secara maksimal untuk
menggapai piala akhirat yang didasari oleh rasa khauf (takut) kepada
Allah SWT.
Begitulah
setiap hati terlepas dari inklinasi dunia seiring itu pula setiap
nasihat, fatwa dan ceramah-ceramah agama akan merasuk dalam kalbunya.
Sebagaimana nasihat dan bimbingan akan cepat meresap ke dalam hati sanubari,
bila diri tidak banyak berlumur dosa. Dan ini secara fungsional akan menyebabkan
seseorang senantiasa mempunyai self-control, rasa muraqqabah,
bertaubat terus menerus, dan selalu beristighfar.
Pada
akhirnya, bila keseluruhan aktifitas ini telah membekas di hati dan terukir
indah di relung-relung hati, maka bila mendengar nasihat, ceramah, kajian
hadits atau pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, ia mudah terpanah dan tersentuh
lantas meneteskan air mata. Hal itu disebabkan hatinya bersih dari noda
berbagai dosa, sehingga mudah menerima dan melaksanakan kebenaran.
2.
Sarana
Bersilaturahmi
Abdullah bin ‘Auf berkata, “Ketika kami tengah berada duduk
berkumpul dengan Nabi Saw, beliau bersabda, ‘Janganlah ikut berkumpul orang
yang memutuskan silaturahmi, berdirilah seorang pemuda kemudian keluar menuju
rumah bibinya yang telah lama bertentangan dengannya.’ Setelah keduanya saling
memaafkan, pemuda itu kembali kepada Rasulullah, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya
rahmat tidak akan turun kepada kaum yang di dalamnya ada orang yang memutuskan
silaturahmi.” (HR. Ath-Thabrani)
Dari riwayat ini sangat jelas betapa nilai silaturahmi sangat besar
untuk memperoleh rahmat dari Allah SWT. Nabi Saw enggan berkumpul dengan orang
yang memutuskan tali silaturahmi. Dengan kata lain, Nabi Saw tidak mengakui
keberadaan orang yang memutuskan silaturahmi.
Silaturahmi benar-benar akan memperkokoh hubungan persaudaraan.
Hubungan yang lebih erat antara yang satu dengan yang lain. Saling menghargai,
saling menolong, saling memberi informasi, juga saling menasehati tentang iman
dan kebaikan.
Dalam hal ini al-Qur’an menerangkan:
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ
بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ
وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ
وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ
حَكِيمٞ ٧١
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. At-Taubah : 71)
Dengan demikian, sungguh tepat bila
Rasulullah mengatakan haram masuk surga bagi orang yang memutuskan silaturahmi,
karena dengan terputusnya silaturahmi akan terputus pula sendi-sendi dan
tatanan nilai agama dalam kehidupan ini.
Rasulullah Saw bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُوْنَ اْلجَنَّةَ مُدْمِنُ
وَقَاطِعُ الرَّحِمِ وَ مُصَدِّقُ بِالسِّحْرِ
“Ada tiga orang yang tidak akan masuk
surga, yaitu: orang yang suka minum khamr, orang yang memutuskan silaturahmi,
dan orang yang membenarkan perbuatan sihir.” (HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim dan
Ahmad)
Korelasi
:
Mesjid sebagai salah satu sarana ajang silaturahmi
sampai kapanpun tetap relevan, mengingat mesjid tempat dimana hampir setiap
waktu banyak orang yang hadir mengerjakan aktifitas ibadah di mesjid. Dalam
menunaikan shalat lima waktu misalnya orang akan saling bertemu dan bertatap
muka, terkadang berbincang-bincang berbicara tentang berbagai hal.
Salah satu hikmahnya orang yang
aktif ke mesjid tidak akan menemukan sekat yang memisahkan baik karena suku,
ras, golongan atau siapa pun dia. Mereka sama-sama duduk dan berdiri menghadap
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, terjalinlah kesamaan dan
kebersamaan dalam lingkungan dan tempat yang dimuliakan ini. Dari sini pula
pada gilirannya nanti akan nampak terlihat antara si miskin dan si kaya, yang
awam dan yang alim, saling terjalin hubungan yang kondusif, saling
memperhatikan dan saling tegur-sapa. Ini merupakan indikasi terealisasinya
makna silaturahmi.
Kondisi ini tidak hanya dapat
dirasakan oleh para orang tua saja, pra remaja pun hendaknya ikut serta
merasakan iklim kondusif seperti itu, karena mesjid tidak membeda-bedakan usia
dan kedudukan seseorang.
3.
Sarana Mencari Teman Bergaul
Memiliki teman
bergaul yang ideal menurut ajaran Islam tidak mudah, sebab Islam mengajarkan
agar kita berteman dan bergaul dengan orang-orang yang baik budi pekertinya.
Siapa pun yang dijadikan teman, ia akan memiliki pengaruh yang sangat kuat
dalam mempengaruhi kepribadian seseorang. Jauh-jauh hari, Nabi Saw
memperingatkan dengan sabdanya:
اَلْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ
فَلْيَنْظُرْ اَحَدُكُمْ مِنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu tergantung pada agama
temannya, maka hendaknya setiap kamu melihat siapa yang dipergaulinya.” (HR.
Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Memilih teman bergaul hendaklah yang memiliki
keistimewaan dengan sifat-sifat yang disenangi seperti berakal dan berbudi
baik, bukan orang fasik dan orang-orang yang sangat tamak terhadap
perkara-perkara keduniaan.
Perihal akal, menurut Imam al-Ghazali, memang
inilah yang pokok dalam kehidupan. Ini yang pertama kali harus diperhatikan
untuk memilih teman. Ada orang yang berkata bahwa tidak berteman dengan
seseorang yang kurang akalnya itu adalah sebagai suatu pengorbanan kepada
Allah.
Lanjut al-Ghazali, perihal budi pekerti ini pun
harus menjadi perhatian, sebab barangsiapa yang jiwanya dapat dikalahkan nafsu;
suka marah, gemar kesyahwatan, kikir, pengecut dan penakut, maka sama sekali
tidak ada faedahnya berteman dengan manusia seperti itu.
Adapun orang-orang fasik yang terus-menerus
dalam kefasikannya, maka ini pun tidak berguna untuk dijadikan teman, bahkan
menyaksikannya pun dapat menimbulkan rasa mempermudah urusan kemaksiatan.
Lagipula tidak mungkin dapat dipercaya bahwa ia tidak akan melakukan sesuatu
penipuan terhadap temannya. Orang seperti ini sama sekali tidak bisa diandalkan
persahabatannya, sebab ia suka berubah-ubah pendiriannya.
Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:
...وَلَا
تُطِعۡ مَنۡ أَغۡفَلۡنَا قَلۡبَهُۥ عَن ذِكۡرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ... ٢٨
“...dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami
lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya...” (QS. Al-Kahfi: 28)
Berkenaan dengan ini, Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin pernah
mengingatkan kepada para remaja bahwa hendaknya remaja memilih teman bergaul
yang baik dan berkarakter mulia, supaya bisa terimbas kebaikan dan karakter
mulia tersebut. Hendaknya ia melihat manusia sebelum mempergaulinya. Hendaknya
hati-hati jangan tertipu oleh perkataan manis dan penampilan yang mempesona,
karena itu hanyalah merupakan tipuan dalam upaya penyesatan yang dilakukan
orang-orang yang bermoral rendah guna menarik orang lain, sehingga kelompok
mereka semakin banyak, akhirnya tertutuplah kejahatan-kejahatan mereka.
Dijelaskan dalam sebuah riwayat, “Perumpamaan teman yang jahat
itu seperti orang yang meniup abu fan (alat peniup api), mungkin dia akan
terbakar bajunya atau mendapatkan bau yang kurang sedap.”
Korelasi :
Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya yang beriman berteman dan
bergaul dengan orang-orang yang enggan berdzikir. Seperti dalam firman-Nya:
فَأَعۡرِضۡ عَن مَّن
تَوَلَّىٰ عَن ذِكۡرِنَا وَلَمۡ يُرِدۡ إِلَّا ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا ٢٩
“Maka
berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan
tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi” (QS. An-Najm : 29)
Dari ayat ini jelas tersirat agar kita mencari teman yang selalu
berdzikir kepada Allah SWT, orang yang taat beribadah dan berakhlak mulia.
Tentunya kita tidak akan menemukan mereka di tempat-tempat mulia, tempat
terhormat, dan yang pasti mereka tak akan jauh dari mesjid.
Demikian pula halnya bagi para remaja yang ingin mencari teman
bergaul hendaknya mencari teman yang taat beribadah dan berakhlak mulia, yaitu
orang-orang yang hidupnya tidak jauh dari mesjid Allah.
Luqman Al-Hakim pernah memberi nasihat kepada putranya, “Hai
anakku, bergaulah dengan para alim ulama dan rapatilah mereka itu dengan
lututmu, sedangkan sesungguhnya Allah SWT itu menghidupkan hati dengan cahaya
hikmah sebagaimana Dia menghidupkan bumi dengan hujan lebat dari langit.”
Seorang penyair berkata, “Ujilah manusia apabila engkau ingin
mempergaulinya serta telitilah keadaannya dengan cermat. Maka apabila engkau
mendapatkan orang yang menepati kebaikan dan bertaqwa, rentangkanlah tanganmu
dengan suka cita untuk mempergaulinya dan jangan kau lepaskan lagi”.
Komentar
Posting Komentar